Selasa, 18 Januari 2011

FIKSI PUN TIDAK MURNI FIKSI

Sejak permulaan kita sekolah, hal yang pertama kita pelajari adalah mengenal angka dan abjad. Dari sinilah berkembang menjadi belajar membaca dan berhitung. Ini adalah dasar dari semuanya. Kita mulai bisa membaca, dan saat-saat yang menyenangkan ketika kita sudah bisa membaca kata-kata pendek apalagi mendapat pujian dari orang tua kita, senangnya berlipat ganda.
Setiap hari kita akan membaca apa saja yang kita jumpai. Saya yang menghabiskan masa kecil di desa sering berlatih membaca tulisan di bungkus korek api, di kotak lilin, kotak sabun, atau apapun yang saya jumpai buku-bukupun sangat terbatas, berbeda dengan anak-anak yang tinggal di kota besar lebih beruntung lagi, sangat mudah menjumpai apapun yang ada tulisannya, di bus kota pun terdapat tulisan baik yang sengaja ditulis berupa iklan (Iklan tidak sama dengan Promosi akan saya buat dalam tulisan lain) atau coretan graffiti yang dilakukan anak-anak SMP atau SMA. Saya masih ingat pertama kali ke Jakarta, di bus kota ada coretan menggunakan cat semprot “Chaptoen, SamReal, Boedoet dan masih banyak lagi.”
Semakin hari kita belajar membaca akhirnya kita bisa membaca perkalimat dan mengerti isinya, bagi orang tertentu tentunya ini menjadi hal yang bisa dan tidak ada yang istimewa bisa membaca. Bagi saya menjadi sesuatu yang sangat luar biasa. Sejak masih SD saya sudah tahu bahwa di luar negeri ada empat musim (walaupun tidak spesifik negara mana, pokoknya luar negeri. Waktu SD lho), saya sudah banyak membaca karya Enid Blyton lima sekawan, dongeng HC Anderson, petruk gareng dan yang lebih asyik lagi saya ketagihan cerita silat Kho Ping Ho (konon Kho Ping Ho tidak pernah ke China namun bisa menggambarkan secara spesifik topografi Negara China).
Hal di atas adalah sedikit pengalaman saya. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa apapun yang kita baca tentu akan mendatangkan manfaat yang sangat banyak bagi kehidupan kita. Baik karya fiksi maupun kaya non fiksi meminjam Positioning sebuah produk susu “Trust me it work.”
Mengapa saya mengatakan demikian?
Karena banyak yang beranggapan bahwa baca buku fiksi isinya hanyalah khayalan penulis, dan ngak ada nilai tambahnya (Added Value) anggapan itu SALAH.
Pantas saja P B8 mengatakan itu salah, wong dia penulis fiksi.
He he, saya tidak hanya menulis fiksi, apapun saya tulis. Memang saya akan segera menerbitkan novel tetapi ada naskah non fiksi yang siap saya terbitkan. Mau bocorannya? Saya sedang menulis tentang trik-trik curang yang dilakukan pedagang terhadap anda selaku konsumen dan ada beberapa lagi yang masih berupa draf kasar.
Kembali ke masalah fiksi. Mengapa saya menyangkal anggapan bahwa fiksi tidak ada Added Value?
Setiap penulis pasti ingin menyampaikan ide yang ada dipikirannya dan ingin memberikan informasi apapun kepada pembaca.
Anda pernah dengar nama sebuah kota yang bernama Nanga Pinoh (sekarang jadi MELAWI) mungkin banyak yang tidak tahu. Tentunya bagi yang lahir dan tumbuh di Kalimantan Barat tentu tahu.
Mungkin anda semua tahu kata BANJIR DAN KEMARAU. Pasti tahu dong.
Apa hubungan Nanga Pinoh, banjir, dan kemarau?
KUTIPAN NOVEL AKU MENCINTAI PRIBUMI
Afuk berjalan sendiri membawa tas pakaiannya yang juga merupakan tas yang digunakannya untuk sekolah selama di SMA Negeri dan menjinjing sebuah kotak kardus berisi makanan yang dikirim Acen pada kakaknya di Jakarta.
Setelah penumpang penuh, bus mulai bergerak, hati Afuk terasa pilu harus meninggalkan Nanga Pinoh, walaupun kehidupan keluarga Afuk tidak kaya secara materi di kota ini, namun banyak kenangan yang dia alami di kota kecil ini. Saat bus melintas di atas jembatan Sungai Pinoh, pandangan Ajit langsung tertuju pada sungai yang penuh kenangan baginya, tidak hanya ada satu sungai namun ada satu sungai lagi yang mengaliri di samping kiri kota Nanga Pinoh yaitu Sungai Melawi. Tepatnya Nanga Pinoh diapit oleh dua buah sungai yang termasuk besar.
Kota Pinoh memang sering dilanda banjir, saat musim penghujan kota Pinoh selalu terendam banjir akibar pertemuan air dua buah sungai ini. Saat banjir umumnya di kota-kota lain dianggap bencana, namun berbeda dengan penduduk Pinoh, banjir yang menggenangi jalan raya dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai sarana hiburan gratis.
Penduduk setempat tidak terkecuali tua dan muda menggunakan perahu kecil yang terbuat dari kayu oleh penduduk setempat disebut sampan, sampan kecil dimanfaatkan untuk menikmati banjir dengan berkeliling kota, yang uniknya lagi ada kebiasaan saat bertemu teman dari sampan lain mereka saling menenggelamkan, benar-benar hiburan yang tidak bisa ditemukan ditempat lain. Seandainya banjirnya masih dangkal penduduk setempat memanfaatkannya dengan berjalan ditengah banjir dan apa bila bertemu teman mereka umumnya saling menyiram sehingga tak mungkin Afuk bisa pulang dengan pakaian tetap kering saat menikmati banjir.
Bukan hanya banjir, Saat kemarau panjang pun, penduduk Nanga Pinoh bisa memanfaatkannya sebagai sarana hiburan. Kemarau panjang biasanya sungai Pinoh hampir kering, batu-batu besar disungai terlihat semua, serta hamparan pasir dan batu kerikil sepanjang Sungai Pinoh dan dimanfaatkan penduduk setempat sebagai sarana hiburan juga, tanpa pandang bulu semua lapisan masyarakat duduk-duduk di atas pasir dan batu sambil sesekali berendam di air, bahkan Afuk dan teman-temannya selalu membawa bola kaki dan memanfaatkannya untuk bermain bola.
Menurut Afuk, kota Pinoh adalah kota yang penuh anugrah, saat banjir besar dan kemarau panjang di daerah lain dianggap bencana alam namun di kota Pinoh menjadi sarana hiburan.
Setelah membaca kutipan novel saya, tentu anda jadi tahu bahwa ada Kota yang unik, tidak menjadikan BANJIR DAN KEMARAU sebagai bencana, bahkan menjadi hiburan.
Sekarang saya bertanya. Apakah masih menganggap Fiksi tak ada Added Value?
Anda tak perlu mengeluarkan uang berjuta-juta untuk mencapai kota Pinoh dan menikmati Banjir dan Kemarau anda hanya duduk disofa empuk dirumah membaca Novel dan anda tahu bahwa ada kota yang unik. Andaikan anda berniat menuju kota Pinoh, belum tentu saat itu sedang terjadi Banjir atau Kemarau.
Jadi mulai saat ini ubahlah paradigma bahwa Fiksi Tak ada Added Value. Dan percayalah FIKSI TIDAK MURNI FIKSI.
Jangan tanya P B8 asal dari mana? P B8, penulis yang hanya ingin dikenal melalui karyanya.

“Semoga bermanfaat P B8”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar