Selasa, 08 Maret 2011

BINGUNG (A cerpen by P B8)

Aku sangat menikmati ruang kerj a ku yang  luas dan bersih, bau khas rumah sakit, seorang perawat yang cekatan selalu menemaniku, cantik dan sedikit genit. Aku maklum dengan kelakuannya karena memang aku masih lajang.
 Aku juga bangga dengan nama ku yang terpampang di pintu dan atas mejaku, nama yang di awali dengan “dr “ dan diakhiri “Sp.OG” orang awam menjuluki aku dokter kandungan.
Pagi itu jam 10.30, seperti biasa aku baru selesai memeriksa pasien ku yang habis dioperasi caesar. Pasien kemarin yang aneh, pasien yang ingin anaknya di lahirkan tepat  tanggal 9 bulan 9 dan pada pukul 9 lewat 9 menit dan detik ke 9, yang lain bisa aku tepati namun menit dan detik mustahil bisa aku  tepati.  Walau aku selalu menganggap orang yang keluar kedunia ini melalui operasi caesar tidak  dilahirkan tetapi dikeluarkan dari rahim, hal yang biasa kami perdebatkan saat masih kuliah kedokteran, aku selalu ngotot bahwa definisi dilahirkan adalah melalui lubang vagina yang menjadi satu-satunya tempat manusia dilahirkan.
Aku memeriksa daftar pasien yang ditumpuk rapi oleh perawatku. Tumpukan yang selalu aku batasi sampai 30 pasien.
“Sharon Admojo, nomor 27,” kata ku pelan.
“Nomor 1 Ibu Ratih dok”  protes perawat disampingku.
“Iya saya tahu sus, saya hanya membaca nama pasien,” jawab ku. Suster pun diam tidak menjawab lagi.
Aku meneliti lagi, pasien no 27, dari tanggal lahir, tinggi badan, sampai golongan darah semua sudah aku hafal sejak bertahun-tahun lalu, hanya berat badan bertambah sekitar 3 kg, mungkin akibat sudah menjadi nyonya Admojo.
“Panggilkan pasien nomor 1, tak perlu sebutkan nomor,” kata ku.
Suster kelihatan agak bingung. “Tak perlu sebutkan nomor,” aku mengulangi kalimat itu.
Suster pun berjalan kearah pintu dan dibukanya pintu“Ibu Ratih,” terdengar teriakkannya.
Aku memeriksa pasien bernama Ratih dengan keluhan mengalami mual-mual sepanjang hari saat melihat suaminya merokok. Itu hanya ngidam biasa, tak perlu resep. Maklum Ibu Ratih baru pertama kali hamil.
“Panggilkan Ibu Sharon, jangan sebut nomor juga,” kata ku.
Suster terkejut, memandang ku cukup lama sepertinya ingin memprotes masalah nomor urut pasien.
“Ibu Sharon Admojo,” kata ku singkat.
Terdengar teriakan  “Ibu Sharon Admojo.”
Ibu Sharon Admojo, wanita cantik yang aku kenal. Sudah 7 tahun berlalu saat terakhir kali kami merencanakan kawin lari namun gagal, wanita yang selalu mengisi hari-hariku, wanita yang menjadi rebutan teman-teman kampus ku, wanita yang sering aku hadiahi Bra impor 36B, wanita yang menyebabkan aku terdaftar dalam calon mahasiswa kedokteran yang akan di Drop Out, namun aku tidak pernah menyalahkannya. Jantung ku berdetak 3x lebih kencang dari biasanya. Saat pertama kali melakukan operasi pada pasien pun jantungku hanya berdetak 2x lebih kencang.
“Selamat pagi dok,” terdengar suara yang sudah tidak asing lagi ditelinga ku.
“Selamat pagi,” jawab ku pura-pura dingin dan bersikap profesional “Nyonya Admojo,” lanjutku dengan menekankan kata Admojo.
“Nama ku Sharon.” Terdengar nada cukup lemah, dan matanya menatap ku tanpa berkedip, akupun menatapnya, terlihat  kesedihan di wajahnya, matanya memancarkan penderitaan yang mendalam.
“Ada keluhan apa Bu Sharon?”
Wanita itu  menatap ke arah suster seolah-olah ingin mengusirnya. Aku paham, dan aku menuruti keinginannya,  hal yang selalu aku lakukan sejak dulu. Memenuhi seluruh keinginannya sebisaku.
“Sus tolong siapkan semua keperluan rapat, jangan lebih dari 20 menit ,”  kataku. Suster selalu paham saat aku menyebut 20 menit berarti mereka harus kembali ke ruangan ku setelah 20 menit. Suster pun keluar.
“Mas, maafkan aku.”
“Aku selalu memaafkan mu Beib.”
“Aku sudah tidak pantas dipanggil Beib.”
Aku merasa malu atas penolakkannya, aku tidak bisa merubah panggilan Beib saat bersamanya.
“Maaf,” kata ku “Apa yang bisa aku bantu?” lanjutku sedikit kaku.
“Aku hanya ingin kau melepaskan spiral yang pernah kau pasang waktu itu.”
“Oh my god. Masih terpasangkah?”
“Aku sengaja merehasiakannya dari suami ku.”
“Berarti kau belum memiliki anak?”
“Aku tak ingin menjadi ibu dari anak Admojo.”
Aku terkejut setengah mati,  namun anehnya aku merasa bahagia mendengar semua ini.
“Maksudnya?”
“Kau tahu? Aku menikahinya bukan karena cinta. Aku dipaksa nikah oleh Ibu ku demi kelangsungan bisnis Ibu. Aku sama sekali tidak menikmati pernikahan kami. Admojo selalu sibuk dengan bisnisnya aku hanya digaulinya sekali sebulan , aku tidak bahagia,” Kata Sharon datar tanpa emosi, sepertinya memang berusaha menyembunyikan emosinya.
“Jadi apa yang bisa aku lakukan Beib?” kata ku.
Sharon menatapku cukup lama tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku memperhatikan wajahnya yang tetap cantik, namun sudah terlihat sedikit keriput di wajahnya. Aku membiarkannya menatapku. Rasanya aku ingin memeluk dan menciumnya melepas rinduku yang terpendam selama ini, mengobati hatiku yang terkoyak akibat  ulah Tante Vivi yang memisahkan Aku dengan Sharon. Tante Vivi  yang seharusnya menjadi mertuaku jika aku menikahi Sharon. Tante Vivi yang dengan licik menjebakku melakukan tindakan Aborsi ilegal terhadap seorang WTS dan merekam tindakkan ku. Hasil rekaman sialan yang ditukar dengan cinta ku terhadap Sharon.
“Jadi apa yang bisa aku lakukan Beib?” kataku untuk kedua kalinya.
Sharon sambil menggigit bibirnya mengeluarkan selembar kertas yang ditulis tangan. Hasil tulis tangannya yang indah, tulisan tangan yang hampir setiap hari aku lihat dalam puisi-puisi cinta karyanya yang masih tersimpan  rapih dalam kamar tidur ku.
Isi tulisan ini membuat jantungku hampir copot.
“Lepaskan spiralku dan buahi aku, aku ingin menjadi ibu dari anakmu.”
Tanganku bergetar setelah membaca  tulisan itu. Cukup lama tidak bisa menjawab.
“Kau mau, Mas?”
“Aku bingung.”

(A Cerpen by P B8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar